Rabu, 23 Januari 2013

Tanpa Do'a Seperti Prajurit Tanpa Senjata


( Arrahmah.com ) - Berbeda
dengan makhluk-Nya, Allah
mencintai orang-orang yang rajin
memohon kepada-Nya. Karena hal
itu menunjukkan bahwa manusia
merasa fakir (butuh) kepada
Allah. Dan Allah justru membenci
orang-orang yang angkuh dan
enggan berdoa kepada-Nya. Nabi
shalallahu 'alaihi wasalam
bersabda,
ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ ِﻝَﺄْﺴَﻳ َﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ْﺐَﻀْﻐَﻳ
"Barangsiapa yang tidak
memohon kepada Allah, maka
Allah murka kepadanya" (HR
Tirmidzi dan Bukhari dalam Adabul
Mufrad)
Realitanya, ada orang-orang
yang merasa dirinya cukup,
merasa bisa mendapatkan
keinginannya tanpa pertolongan
Rabbnya, lalu meninggalkan doa.
Sudah barang tentu ia akan
mengenyam kesulitan demi
kesulitan dalam menjalani hidup, di
dunia apalagi di akhirat. Allah
berfirman,
"Dan adapun orang-orang yang
bakhil dan merasa dirinya cukup,
serta mendustakan pahala
terbaik, maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya (jalan) yang
sukar. " (QS al-Lail 8 – 10)
Tanpa Doa, Seperti
Tentara tanpa Senjata
Di antara kaum muslimin, ada lagi
yang meninggalkan doa karena
merasa tak mampu memenuhi
persyaratannya. Seperti orang
yang berkata, "Saya biasa makan
dari rejeki yang tak jelas halal
haramnya, sedangkan orang yang
mengkonsumsi barang yang haram
tidak dikabulkan do'anya, maka
percuma saja kalau saya berdoa."
Laa haula wa laa quwwata illa
billah. Adakah sesuatu yang bisa
diandalkan seorang muslim
melebihi 'senjata' doa? Hingga
ada yang rela mencampakkan doa
agar bebas makan apa saja?
Seseorang yang mengerti
urgensi doa, tentu lebih memilih
untuk memenuhi syarat
terkabulnya doa, katimbang ia
harus bertelanjang dari doa.
Karena meninggalkan hal yang
haram itu lebih mudah dijalani
daripada hidup tanpa menyandang
senjata doa. Tanpa doa, keadaan
seseorang lebih berat dari
tentara yang tidak memiliki
senjata, petani yang tidak memiliki
cangkul, orang sakit yang tak
mendapatkan obat, atau
seseorang yang ingin membeli
barang tanpa memiliki uang.
Hanya mengandalkan kecerdasan
pikir, kekuatan fisik maupun alat
canggih, jelas tidak memadai bagi
manusia untuk bisa meraih tujuan
bahagia yang sempurna, atau
mencegah datangnya marabahaya.
Alangkah kecil modal dan
kekuatan, sementara begitu
besar cita-cita yang diharapkan,
dahsyat pula potensi bahaya yang
mungkin datang di hadapan. Untuk
itu, manusia membutuhkan
'kekuatan lain' di luar dirinya
untuk merealisasikan dua tujuan
itu. Dan barangsiapa yang
menjadikan doa sebagai sarana,
niscaya dia akan menjadi orang
yang paling kuat, paling sukses
dan paling beruntung. Karena doa
mengundang datangnya
pertolongan Allah Yang Maha
Berkehendak, Mahakuasa,
Mahakuat dan mampu melakukan
apapun yang dikehendaki-
Nya, Fa'aalul limaa yuriid. Karena
itulah, Ibnul Qayyim dalam al-
Jawaabul Kaafi berkata, "Doa
adalah sebab yang paling kuat
untuk mencegah dari perkara
yang dibenci dan menghasilkan
sesuatu yang dicari."
Khasiat Doa Sepanjang
Masa
Allah telah banyak mengisahkan
dahsyatnya doa, yang menjadi
solusi problem-problem besar
dan menjadi sebab yang
menyelamatkan dalam banyak
peristiwa genting dari zaman ke
zaman. Dan meski dengan variasi
dan kadar yang berbeda,
sebenarnya problem-problem
yang di hadapi manusia dari
zaman ke zaman memiliki karakter
yang nyaris sama.
Jika di zaman ini banyak orang
yang galau, atau berduka lantaran
kesulitan yang menghimpitnya,
maka dahulu Nabi Yunus
'alaihissalam pernah mengalami hal
yang sama dan bahkan lebih
berat. Toh, kegalauan itu akhirnya
sirna dengan doa beliau, "laa
ilaaha illa anta subhaanaka inni
kuntu minazh zhaalimin," Karena
Allah menjawab doa beliau dengan
firman-Nya, "Maka Kami telah
memperkenankan doanya dan
menyelamatkannya dari pada
kedukaan." (QS al-Anbiya' 88)
Maka adakah orang yang sedang
menyandang kesulitan hari ini
mengingat dan berdoa
sebagaimana doa beliau?
Jika sekarang banyak orang
menderita sakit yang tak kunjung
sembuh, dan tak jarang kesulitan
untuk menemukan sebab dan
obatnya, hal yang sama pernah
menimpa Nabi Ayyuub 'alaihissalam.
Dan pada akhirnya penyakit beliau
sembuh dengan doa, "Rabbi inni
massaniyadh dhurru wa Anta
Arhamur Raahimiin",
Karena Allah menjawab doa beliau
dengan firman-Nya, "Maka
Kamipun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya." (QS
al-Anbiya' 84)
Jika sekarang banyak orang
mengalami rasa takut akan
datangnya bencana, atau
khawatir dengan bahaya yang
mengancam, solusi dari semua itu
juga telah ditempuh oleh Nabi yang
mulia, Muhammad shalallahu 'alaihi
wasalam, yakni dengan doa,
"hasbunallahu wa ni'mal Wakiil",
maka Allah menghindarkan mereka
dari bahaya, sebagaimana firman-
Nya,
"Maka mereka kembali dengan
nikmat dan karunia (yang besar)
dari Allah, mereka tidak
mendapat bencana apa-
apa," (QS Ali Imran 174)
Begitulah doa, mampu menjadi
solusi saat manusia angkat
tangan untuk memberi solusi. Doa
juga efektif menjadi jalan keluar
ketika segala cara menemui jalan
buntu. Doa juga mampu mencegah
bahaya, yang dosisnya tidak
mampu dibendung oleh kekuatan
manusia.
Semestinya doa bukan menjadi
alternatif terakhir, atau ia baru
diingat setelah ikhtiyar tak
menghasilkan jalan keluar.
Mestinya doa tetap mengiringi
sebelum, di saat dan setelah
ikhtiyar ragawi dilakukan.
Faktanya, masih jamak terjadi di
kalangan kaum muslimin. Mereka
begitu getol dan rajin berdoa
saat menghadapi situasi khusus.
Saat anak mencari sekolah,
ketika sedang mencari lowongan
kerja, tatkala ada keluarga yang
sakit, atau ketika ada tanda-
tanda bencana akan terjadi.
Selebihnya, tak ada doa
dipanjatkan, tak tersirat dalam
pikirannya bahwa Allahlah yang
kuasa segalanya, untuk memberi
atau menahan sesuatu yang
diharapkan. Manusia tidak lepas
sedikitpun dari pertolongan Allah
untuk meraih kesuksesan.
Sehingga ia perlu berdoa kepada
Allah untuk kebaikan seluruh
urusannya, bukan hanya
mengandalkan kehebatan dirinya
yang hakikatnya sangat lemah
tanpa pertolongan Allah.
Karenanya, di antara doa yang
diajarkan oleh Nabi shalallahu
'alaihi wasalam adalah,
َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ َﻚَﺘَﻤْﺣَﺭ ﻮُﺟْﺭَﺃ َﻼَﻓ ﻰِﻨْﻠِﻜَﺗ ﻰَﻟِﺇ ﻰِﺴْﻔَﻧ
ٍﻦْﻴَﻋ َﺔَﻓْﺮَﻃ ْﺢِﻠْﺻَﺃَﻭ ﻰِﻟ ﻰِﻧْﺄَﺷ ُﻪَّﻠُﻛ َﻻ َّﻻِﺇ َﻪَﻟِﺇ
َﺖْﻧَﺃ
"Ya Allah, rahmat-Mu aku harap,
dan janganlah Engkau serahkan
(nasib) diriku kepada diriku
sendiri meski hanya sekejap mata,
perbaguslah untukku segala
urusanku, tidak ada ilah yang haq
kecuali Engkau." (HR Abu Dawud)
Doa Harian, Menjawab
Segala Kebutuhan
Adalah baik jika seseorang
membiasakan doa-doa harian
yang bersifat ta'abbudiyah
maupun adab. Seperti doa
sebelum dan sesudah makan,
hendak tidur dan setelah bangun,
masuk masjid atau keluar, maupun
doa-doa lain yang disyariatkan.
Ketika ia menjalaninya dalam
rangka menjalani sunnah, ia
mendapatkan pahala. Inilah fungsi
doa yang disebut dengan du'a
al-'ibaadah (doa sebagai realisasi
ibadah). Namun ada fungsi lain
dari doa, yang disebut dengan
du'a al-mas'alah (doa sebagai
permohonan). Ketika doa
dilantunkan tanpa adanya
kesadaran bahwa dirinya sedang
memohon kepada Allah, maka
maksud yang dikehendaki dari
makna doa tidak akan terwujud.
Nabi shalallahu 'alaihi wasalam
bersabda,
ﺍﻮُﻋْﺩﺍ َﻪﻠﻟﺍ ْﻢُﺘْﻧَﺃَﻭ َﻥﻮُﻨِﻗﻮُﻣ ِﺔَﺑﺎَﺟِﻹﺎِﺑ ﺍﻮُﻤَﻠْﻋﺍَﻭ
َّﻥَﺃ َﻪﻠﻟﺍ َﻻ ُﺐﻴِﺠَﺘْﺴَﻳ ًﺀﺎَﻋُﺩ ٍﺐْﻠَﻗ ْﻦِﻣ ٍﻞِﻓﺎَﻏ ٍﻩَﻻ
"Berdoalah kepada Allah
sedangkan kamu dalam keadaan
yakin akan dikabulkan, dan
ketahuilah bahwa Allah tidak
mengabulkan doa dari hati yang
lalai dan alpa." (HR Tirmidzi, al-
Albani mengatakan, "hasan").
Andaikan seorang muslim
membiasakan diri dengan doa-
doa harian yang disyariatkan,
sekaligus diiringi dengan
kesengajaan dan pengharapan
sebagaimana makna yang
terkandung dalam doa, niscaya
tercoverlah kebutuhan-
kebutuhannya, baik yang bersifat
duniawi maupun ukhrawi. Karena
doa-doa yang Nabi ajarkan dari
bangun tidur hingga bangun tidur
kembali sudah mencakup segala
hal yang dibutuhkan manusia, baik
kemaslahatan diiniyyah maupun
dunyawiyyah. Permohonan sehat
dan dijaga dari penyakit,
kemudahan segala urusan,
permohonan rezeki, perlindungan
dari segala gangguan setan dan
keburukan, maupun permohonan
jannah dan terhindar dari neraka.
Generasi terbaik di kalangan
sahabat, berusaha menghadirkan
pengharapan saat berdoa dengan
suatu doa yang menjadi rutinitas
harian. Ibnu Katsier dalam
tafsirnya menyebutkan riwayat
dari Ibnu Abi Hatim, bahwa 'Irak
bin Malik, selepas shalat Jumat
beliau berdiri di pintu masjid beliau
berdoa dengan doa keluar masjid
lalu berkata, "Ya Allah, saya telah
memenuhi panggilan-Mu, lalu
shalat dengan shalat yang Engkau
fardhukan atasku, akupun hendak
bertebaran di muka sebagaimana
yang Engkau perintahkan, maka
berilah rezki kepadaku dari
karuia-Mu, karena Engkau adalah
sebaik-baik Pemberi rezki."
Perlu kiranya digarisbawahi,
bahwa doa dengan segala
kelebihan dan faedahnya, tidak
menafikan atau menghapus
keharusan untuk ikhtiyar. Masing-
masing memiliki kadar tersendiri
sebagai sebab terkabulnya doa,
di samping juga memiliki nilai ibadah
tersendiri Wallahu a'lam.[]
Oleh: Abu Umar Abdillah -
http://www.arrisalah.net
(saif/ arrahmah.com )


 Sumber : Arrahmah.com 

Selasa, 01 Januari 2013

Berilmu Dahulu , Beramal Kemudian

(Arrahmah.com) - Islam adalah rahmatan lil 'alamin—pernyataan ini sudah lekat dalam kepala setiap muslim. Selanjutnya yang menjadi sangat penting bagi setiap orang yang mengaku sebagai muslim adalah bahwa ia harus meyakini islam adalah satu-satunya undang-undang kehidupan dan peraturan hidup yang hakiki bagi manusia dan diridhoi-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menerapkan ini dalam hidupnya, ia mendapat janji dari Allah Ta'ala berupa jaminan kehidupan yang mulia di dunia dan di akhirat, seperti firman-Nya,

Artinya, "Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur'an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar." (QS. an-Nisa', 4 : 162)

Untuk menjaga kesucian dien ini, Allah Ta'ala telah menetapkan para utusan-Nya bagi setiap umat dengan mengirimkan orang-orang yang mujaddid atau orang-orang yang berupaya mengembalikan syaria't sesuai dengan yang diturunkan oleh Allah Ta'ala dan membumikan sunnah-sunnah yang diwariskan oleh Rasulullah saw kepada umat saat ini. Mereka dijadikan oleh Allah Ta'ala sebagai wali di muka bumi untuk tetap mengawal umat sehingga tidak berbelok ke arah yang berseberangan dengan jalan-Nya. Sementara dunia saat ini (baca: orang-orang kafir) sudah bergelora menancapkan syari'at sesatnya guna memalingkan manusia sejauh-jauhnya dari dien yang hak.
Kedudukan ilmu

Sesungguhnya para ulama mujaddid dihadirkan untuk umat karena ia memiliki kecukupan dan kecakapan dalam ilmu, terutama ilmu dien. Hal itu menandakan pentingnya kepemilikan ilmu. Sementara posisi ilmu dalam islam adalah hal yang paling utama sebelum beramal dan yang juga paling utama setelah beriman, sebab fungsi ilmu menyuburkan iman dan menunjukkan jalan kebenaran iman. Al-Qur'an banyak menyebutkan keterkaitan antara ilmu dan iman karena keduanya merupakan sarana yang dapat beroleh kemuliaan dan ketinggian derajat manusia di mata Allah Ta'ala. Seperti firman-Nya,

Artinya, "…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Mujadilah, 58:11)

Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kafir meski mereka memiliki kelebihan yang bersifat keduniaan dari orang-orang beriman. Namun derajat orang-orang beriman yang berilmu akan menempati posisi yang lebih baik lagi ketimbang orang yang hanya beriman saja. Hal tersebut dikarenakan hanya dengan sarana ilmu lah, seseorang dapat mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil, yang mana yang sesuai dengan standar kebenaran yang telah disyari'atkan Allah Ta'ala kepada manusia dan yang mana yang hanya mengekor kepada thoghut.

Para ulama menetapkan bahwa syarat syahnya suatu amalan adalah ikhlas dan ittiba' (mengikuti). Bagaimana ittiba' bisa berlangsung—disinilah pentingnya peran ilmu. Mana mungkin seseorang bisa mengikuti, sementara ia tidak tahu siapa dan apa yang harus diikutinya… Sementara Rasulullah saw bersabda,

Artinya, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahku, maka amalan itu tertolak."(HR. Muslim)

Dengan ilmu, manusia bisa memperoleh pengetahuan akan cara hidup yang harus dijalaninya, memperoleh pengetahuan tentang apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk bagi dirinya, mengetahui kesempatannya untuk bisa memperoleh derajat kemuliaan di sisi sang Kholik, bahkan dengan ilmu ia bisa merasakan kehadiran Allah Ta'ala mengawasi dirinya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

Artinya, "Manusia itu lebih membutuhkan ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang itu butuh makan dan minum sekali atau dua kali sehari, sedangkan ilmu itu dibutuhkan setiap kali hembusan nafasnya." (kitab Madarijus Salikin)

Rasulullah saw juga pernah menegaskan tentang keutamaan ilmu bagi seseorang,

Artinya, "Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya ia menjadi baik, maka Dia memberinya pemahaman terhadap agama (al-Qur'an dan as-Sunnah)." (HR. Bukhari)

Banyaknya pernyataan dari Allah Ta'ala yang menunjukkan tingginya derajat ilmu diantaranya yaitu bahwa posisi orang yang berilmu dibanding semua manusia adalah bak bulan purnama diantara bintang-gemintang, ia mendapatkan penghormatan dari para malaikat yang menundukkan sayapnya, serta beroleh pertolongan untuk dimintakan-ampunan dari binatang, tetumbuhan, bahkan benda-benda mati disekitarnya.

Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS. al-Baqarah, 2 : 269)

Oleh karena itulah, hanya dengan ilmu—kemuliaan dapat diperoleh. Tentu saja ilmu yang mendapat jaminan kemuliaan bagi pemiliknya adalah ilmu dien atau ilmu syari'at, yang berguna untuk mengetahui segala yang diwajibkan dan segala yang diharamkan kepada muslim yang mukallaf. Ilmu juga merupakan warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh para nabi dan rasul bagi umatnya sehingga para ulama dan orang-orang berilmu adalah orang-orang yang paling beruntung karenanya. Maka sudah seyogyanya kita selalu memohon kepada Allah Ta'ala agar diberikan kemudahan dalam memperoleh ilmu serta memahamkannya. Allah Ta'ala telah mengajarkan dalam firman-Nya,

Artinya, "…dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha, 20 : 114)

Hal penting kemudian adalah mencari wasilah untuk diperolehnya ilmu yang telah dimohonkan tersebut. Begitu banyak kisah yang bisa kita ketahui bahwa para nabi dan rasul memiliki perjalanan yang panjang dalam usahanya memperoleh ilmu, demikian pula para sahabat, para tabi'in, para tabi'ut-tabi'in, hingga para ulama saat ini. Semuanya berikhtiar dengan segenap kemampuan yang ada.

Lalu bagaimanakah dengan kita sendiri? Apakah yang sudah kita peroleh selama ini?

Sebagian besar mungkin sudah merasa cukup dengan perolehan yang ada, bahkan tak sedikit yang merasa puas karena sudah dilahirkan oleh orang-tua yang muslim. Memang benar, islamnya kita karena keturunan merupakan anugrah yang patut disyukuri—namun modal dasar yang kita sudah miliki tersebut tetap harus ditingkatkan karena ia perlahan bisa memudar bahkan lenyap karena tak pernah disuburkan dengan ilmu.

Para ulama terdahulu memiliki ghiroh luar-biasa terhadap ilmu. Mereka berkemauan keras demi tercapainya ilmu. Melalui perjalanan yang tak sebentar, dengan harta yang mereka habiskan hingga menjadi miskin karenanya, dan dengan menemui begitu banyak orang shalih yang mempunyai kecakapan ilmu yang hidup di zaman mereka.

Rasulullah saw bersabda,

Artinya, "Bahwasanya siapa yang melalui suatu jalan dalam menuntut ilmu, maka akan dimudahkan baginya jalan ke surga…" (Shahih al-Jami' no. 1727)

Manshur bin Ammar al-Khurasani, dalam kitab Al-Muhadditsul Fasil Baina Arraawi wal Waa'i (hal. 220-221), mengatakan tentang orang-orang yang mencari ilmu bahwa mereka keluar dari satu negeri ke negeri yang lain, menelusuri setiap lembah, kusut rambutnya, lusuh bajunya, kempis perutnya, kering bibirnya, dan kurus badannya untuk mencari ilmu. Mereka hanya punya satu impian, yaitu keridhaan pada ilmu. Tidak menghalangi mereka rasa lapar dan dahaga, serta semangat mereka tidak pernah lekang oleh cuaca panas ataupun dingin. Mereka membedakan hadits yang shahih dengan yang dha'if dengan pengetahuan yang kuat, pemikiran yang cemerlang, serta hati yang siap untuk menerima kebenaran. Maka amanlah mereka dari kerancuan dan hal-hal yang dibuat-buat orang dan dari kebohongan para pendusta.

Mereka mengembara mencari ilmu di siang-siang yang panas dan menghidupkan malam dengan menuliskan ilmu yang telah mereka dapatkan. Umur mereka pun habis dalam menekuni ilmu, terlebih kesenangan mereka terhadap dunia yang semakin tak menjadi prioritas. Dunia bagi mereka adalah hari-hari yang berlalu, yang apabila tanpa dihiasi dengan ilmu hanya merupakan kesia-siaan yang bisa mendatangkan kebinasaan bagi manusia.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitab Syafahat min Shabril ulama', "Tidak sesuai orang yang menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap miskin." Beliau juga berkata, "Tidak mungkin menuntut ilmu, orang yang pembosan dan sering berubah pikiran serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu dengan menahan diri, dengan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut, maka dengan itu ia akan beruntung."

Beberapa kisah perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu

Dalam firman-Nya,

Artinya, "…mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. at-Taubah, 9 : 122)

Imam Syafi'i rahimahullah menegaskan bahwa tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali ia berada dalam keadaan serba kekurangan. "Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun sangat sulit, sehingga setiap kali selesai menyimak seorang guru—aku pulang lalu mengambil tembikar, pelepah kurma, dan tulang unta. Aku menulis hadits yang telah kuhafalkan disitu dan jika telah tak ada lagi bidang yang tersisa untuk kutulis—aku menyimpannya dalam gentong milik ibuku hingga penuh dengannya." (Kitab Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlih)

Abu Darda' mengatakan, "Kalau aku menemukan satu ayat dalam al-Qur'an dan tidak ada yang bisa menerangkannya kepadaku, kecuali seseorang yang tinggal sangat jauh sekali, maka aku akan temui ia." (Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, 1/195)

Sa'id al-Musayyab pernah berkata, "Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits." (HR. Malik)

Imam Malik bin Anas pernah belajar dari 900 guru, sekitar 300 dari mereka merupakan golongan tabi'in, dan selainnya merupakan tabi'ut-tabi'in. Ia sangat menaruh perhatian pada keotentikan satu riwayat dan sangat berhati-hati agar tidak mengambil riwayat dari orang-orang yang tidak tsiqoh. Dituliskan dalam Tartibul Madarik li Ma'rifati A'lami Mazhabil Malik bahwa Imam Malik sedemikiannya merasakan kemiskinan untuk memperoleh ilmu, sampai-sampai ia menjual kayu atap rumahnya.

Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam kitab Shaidul Khathir, mengatakan bahwa beliau (Imam Ahmad bin Hambal) sampai dua kali mengelilingi dunia untuk menuntut ilmu hingga beliau dapat mengumpulkan musnad. Sementara Abdullah bin Muhammad al-Baghawi mengatakan bahwa Ahmad bin Hambal berkata, "Aku akan menuntut ilmu hingga aku dimasukkan ke liang kubur."

Dari Ja'far bin Muhammad al-Quthun bahwa Imam Bukhari berkata, "Aku belajar pada seribu orang ulama, bahkan lebih dan aku tidak menuliskan satu hadits pun kecuali kusebutkan sanadnya." Beliau rahimahullah juga berkata, "Aku menulis kitab Ash-Shahih selama sepuluh tahun dan aku mengeluarkan padanya enamratus ribu hadits, dan aku menjadikannya sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta'ala."

Begitu juga keseriusan yang dijalani syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mempelajari al-Qur'an, ilmu hadits, ilmu nahwu, fiqih beserta hukum-hukum ushulnya, tafsir, dan lainnya dalam usia yang masih belasan tahun sampai-sampai di tempat tinggalnya di Damaskus ia dikenal sebagai seorang yang cerdas, memiliki hafalan yang kuat, serta memahami beragam risalah. Kehidupannya pun juga diwarnai oleh banyak penentangan hingga sempat memasukkannya ke dalam penjara. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya, seperti yang dikatakan Ibnu Abdil Hadi, "Syaikh Ibnu Taimiyyah memiliki karangan, fatwa, kaidah, jawaban, dan yang lainnya hingga tidak terhingga. Aku tidak mengetahui seorang pun yang mengumpulkan seperti yang beliau kumpulkan atau menulis seperti yang beliau tulis. Padahal kebanyakan dari tulisannya adalah hasil dari apa yang didiktekan dari hafalan dan ditulis ketika beliau dalam penjara yang tentu tidak ada buku rujukan yang bisa beliau gunakan pada saat seperti itu."

Demikian sekilas perjuangan dan kesungguhan para mujaddid dalam meniti ilmu. Apa yang mereka tinggalkan merupakan sebuah keberuntungan untuk hidup kita di masa sekarang. Seperti sabda Rasulullah saw,

Artinya, "Sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mendapat bagian yang sangat besar." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Karya besar mereka sudah diaplikasikan dalam berbagai media yang pada era ini amat mudah kita peroleh dimana-mana. Tinggal kita camkan pada diri kita: kapan akan kita ikuti proyek cara hidup mereka dengan pemenuhan nilai investasi keseriusan fi sabilillah berjangka-panjang demi peraihan akhir yang gemilang seperti mereka… Sementara sudah teramat cukup rasanya kita memenuhi keseharian kita dengan berleha-leha menghambur-hamburkan umur, menikmati berbagai hiburan yang menina-bobokan akal dan mengeraskan hati, bahkan adakalanya hanya serius untuk memenuhi perkara perut semata. Sementara musuh-musuh Islam sudah ditakdirkan akan selalu berupaya mengganyang iman kaum muslimin.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita meningkatkan kualitas diri kita sebagai seorang muslim melalui keilmuan yang hakiki. Lalu senantiasa bermunajat agar diberikan kemudahan dalam kefaqihan;

Artinya, "…dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha, 20 : 114).

Wallahu'alam bish shawab…

___________________________

Oleh: Ustadz Abu Jibriel Abdurrahman
http://abujibriel.com



 Sumber : Arrahmah.com

Doa Untuk Mendapatkan Jodoh Yang Terbaik dan Sesuai Harapan

(Arrahmah.com) - Dewasa ini menikah telah menjadi persoalan yang sangat pelik dan besar bagi banyak pihak. Persoalan yang mengganjal kemudahan dan kelancaran pernikahan tidak sebatas factor biaya pernikahan yang besar saja. Dalam beberapa keadaan, persoalannya bahkan berakar kepada faktor pemilihan dan penentuan calon pasangan hidup.

Banyak pemuda kebingungan mencari gadis yang akan dijadikan calon istri. Dalam zaman yang diwarnai oleh emansipasi wanita ala negara-negara kafir Barat ini, mencari sosok calon istri yang baik pemahaman dan pengamalan agamanya, baik akhlaknya, baik garis keturunan keluarganya ---syukur-syukur cantik wajahnya dan kaya harta--- bukan pekerjaan mudah.

Para gadis lebih pusing lagi. Jumlah kaum wanita yang lebih banyak dari jumlah kaum pria merupakan sebuah persoalan tersendiri. Apalagi gadis biasanya relatif pasif dan hanya menunggu bola. Maka memilih seorang calon suami yang baik pemahaman dan pengamalan agamanya, baik akhlaknya, baik garis keturunan keluarganya ---syukur-syukur tampan wajahnya dan mapan pekerjaannya--- sungguh pekerjaan yang sulit.

Saking sulitnya, terkadang menantikan kedatangan seorang pemuda muslim yang rajin shalat lima waktu secara berjama'ah, tidak merokok dan bukan pengangguran saja ---kriteria yang sebenarnya tak muluk-muluk--- butuh waktu yang entah berapa lama, hanya Allah yang tahu.

Semua pemuda dan gadis tentu berharap dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah dalam urusan mendapatkan jodoh dan membangun ikatan rumah tangga. Banyak di antara mereka bertanya-tanya kepada para kyai, ustadz dan murabbi (pembimbing ruhaninya), tidak adakah doa dari Al-Qur'an atau hadits nabawi untuk mendapatkan jodoh yang ideal dan sesuai dengan harapan?

Sebagai agama yang memberikan panduan bagi seluruh aspek kehidupan manusia, sudah tentu Islam mengajarkan doa yang ditanyakan tersebut. Persoalannya, seringkali orang terpaku pada penyebutan lafal "istri yang shalihah" atau "suami yang shalih" misalnya, sehingga merasa merasa tidak ada doa dalam Al-Qur'an atau hadits nabawi yang secara khusus berkaitan dengan permintaan kemudahan mendapatkan pasangan hidup yang ideal.

Islam adalah agama yang memberi panduan dalam semua persoalan kehidupan umat manusia. Perkara yang besar sampai perkara yang kecil, urusan pengelolaan negara sampai urusan buang air kecil, semuanya ada tuntunannya dalam Al-Qur'an dan as-sunnah.

Dalam perkara-perkara yang bersifat baku dan tidak mengalami perubahan dengan adanya perubahan tempat dan zaman, Islam memberi panduan yang sifatnya rinci. Misalnya persoalan akidah, akhlak mulia dan akhlak tercela, ibadah-ibadah ritual, hukum pidana, pernikahan dan yang berkaitan dengannya, warisan dan yang berkaitan dengannya.

Adapun dalam perkara-perkara yang bisa berubah mengikuti perubahan zaman dan tempat, Islam memberi panduan secara global. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad ulama' dan umara' kaum muslimin. Misalnya teknis pengelolaan politik, ekonomi, militer, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Nash-nash Al-Qur'an dan hadits nabawi memiliki sifat jawami' al-kalim. Maksudnya adalah lafalnya ringkas, namun maknanya sangat luas dan mengandung pelajaran yang sangat dalam. Demikian pula halnya dengan doa-doa yang terkandung dalam Al-Qur'an dan hadits nabawi, lafalnya ringkas-ringkas namun maknanya sangat luas dan sudah mencakup semua hal yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

Meskipun berdoa itu sifatnya bebas, dengan bahasa apapun dan lafal apapun sesuai kebutuhan orang yang berdoa, namun Islam juga memberikan panduan kepada umatnya untuk membiasakan diri berdoa dengan doa-doa yang bersifat jawami' al-kalim. Sepantasnya seorang muslim berdoa dengan doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan as-sunnah, karena lafal dan kandungan maknanya tentu lebih baik dari doa-doa yang dirangkai dengan kata-kata kita sendiri, yang biasanya lafalnya panjang lebar namun kandungan maknanya tidak luas.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ، وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ»

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam menyukai doa-doa yang jawami' (ringkas lafalnya namun luas dan dalam maknanya) dan meninggalkan doa-doa selainnya." (HR. Abu Daud no. 1482, Ahmad no. 25151, Ibnu Hibban no. 867, Ath-Thayalisi no. 1491, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6029, Al-Hakim no. 1978 dan Ibnu Abi Syaibah no. 29165. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani)

Sekarang marilah kita perhatikan sebagian doa dalam Al-Qur'an dan as-sunnah yang menuntun seorang pemuda dan gadis untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal dan sesuai harapannya. Jika dikaji secara mendalam, bisa jadi akan banyak ditemukan doa-doa tersebut. Di sini kita akan menyebutkan sebagiannya saja yang mudah:
Pertama

Doa yang diajarkan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

"Wahai Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari azab neraka." (QS. Al-Baqarah [2]: 201)

Lafal kebaikan di dunia dalam ayat di atas adalah jawami' al-kalim. Lafal kebaikan di dunia sudah mencakup calon istri yang shalihat, calon suami yang shalih, dan makna-makna lainnya.

Saat menjelaskan makna ayat tersebut, imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi berkata: "Doa ini telah mengumpulkan semua kebaikan di dunia dan menjauhkan dari semua keburukan di dunia. Karena kebaikan di dunia itu mencakup segala hal yang diinginkan di dunia, berupa kesehatan, rumah yang luas, istri yang baik (atau suami yang baik, pent), rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, kendaraan yang nyaman, pujian yang baik dan lain-lainnya yang telah disebutkan dalam ungkapan para ulama tafsir. Tidak ada kontradiksi antara pendapat-pendapat mereka tersebut, karena semuanya termasuk dalam cakupan makna kebaikan di dunia." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/558)

Oleh karena begitu hebatnya doa ini, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam selalu membacanya. Bahkan ia adalah doa yang paling banyak dibaca oleh beliau. Sebagaimana dituturkan oleh pelayan beliau, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:

كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ»

"Doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salama adalah doa: "Ya Allah, ya Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari azab neraka." (HR. Bukhari no. 6389 dan Muslim no. 2690)
Kedua

Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seluruh kebaikan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui.

Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh keburukan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui." (HR. Ahmad no. 25019, Ibnu Majah no. 3846, Ibnu Abi Syaibah no. 29345, Ibnu Hibban no. 869, Abu Ya'la no. 4473 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6026. Hadits shahih)

Kebaikan yang disegerakan di dunia dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha di atas sudah mencakup istri yang shalihat dan suami yang shalih bagi orang yang telah menikah, juga mencakup calon istri yang shalihat dan calon suami yang shalih bagi orang yang belum menikah.

Keburukan yang disegerakan di dunia dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha di atas sudah mencakup istri yang buruk dan suami yang buruk (baik dari segi ilmu agama, akhlak, harta, nasab maupun fisik) bagi orang yang telah menikah, juga mencakup calon istri yang buruk dan calon suami yang buruk (baik dari segi ilmu agama, akhlak, harta, nasab maupun fisik) bagi orang yang belum menikah.

Satu doa dari Al-Qur'an dan satu doa dari hadits di atas sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan orang-orang yang menginginkan pasangan hidup yang bisa menemaninya dalam menggapai kebahagian dunia dan akhirat.

Jika setelah itu masih ingin memanjatkan doa-doa tambahan dengan lafal-lafal yang disusun sendiri atau disusun oleh kyai dan ustadz, misalnya, maka tidak mengapa. Sebaiknya selalu dilantunkan juga bagian akhir dari doa dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha di atas yang berbunyi:

وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا

"Dan aku memohon kepada-Mu agar menjadikan setiap ketetapan (takdir) yang Engkau tetapkan untukku sebagai (takdir) kebaikan." (HR. Ahmad no. 25019, Ibnu Majah no. 3846, Ibnu Abi Syaibah no. 29345, Ibnu Hibban no. 869, Abu Ya'la no. 4473 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6026. Hadits shahih)

Saudaraku muslim dan muslimah di manapun Anda berada…

Semoga Allah Ta'ala mengaruniakan kepada Anda pasangan hidup yang terbaik bagi Anda dan memudahkan Anda menggapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Amien.

(muhib almajdi/arrahmah.com)


 Scomumber arrahmah.

Pil KB Laris di Beli para Anak Muda

Selasa , 01 Januari 2013

JOMBANG (Arrahmah.com) - Jika tahun sebelumnya, alat kontrasepsi jenis kondom laris manis pada malam tahun baru, kali ini giliran alat kontrasepsi berupa pil KB yang diserbu pembeli. Hal itu terjadi di sejumlah apotek di Jombang, Senin (31/12/2012) petang.

"Permintaan kondom cenderung stagnan jelang tahun baru kali ini. Yang mengalami lonjakan justru penjualan pil KB. Jika pada hari biasa hanya ada tiga pembeli pil KB. Namun mulai Sabtu kemarin setidaknya ada 20 pemuda pemudi yang membeli pil KB," kata salah satu penjaga apotek di kawasan Peterongan Jombang seperti dilansir beritajatim.

Menurutnya, jenis pil KB yang banyak diminati adalah andalan dan planotap. Tingginya penjualan pil KB itu juga dirasakan sejumlah apotek dalam kota. "Rata-rata perhari ada lima pembeli pil KB," kata Wahyono, salah satu penjaga apotek yang ada di dalam kota Jombang.

Wahyono menjelaskan, permintaan pil KB itu lebih tinggi dibanding dengan permintaan kondom. Sebab rata-rata per hari, hanya ada dua sampai tiga orang yang beli kondom. Kondisi itu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Ia mencontohkan, tahun lalu menjelang tahun baru dia bisa menjual belasan kondom dalam sehari. Pembeli kondom tidak hanya datang dari kalangan dewasa. Melainkan juga para remaja bahkan pelajar. Namun sekarang ini, pihaknya lebih selektif dalam menjual kondom. "Kalau kita lihat masih belum cukup umur, pembelian kondom tidak kita layani," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jombang, KH Junaidi Hidayat mengaku khawatir tren peningkatan penjualan pil KB maupun kondom itu digunakan untuk hal-hal yang cenderung negatif dalam merayakan pergantian tahun. Untuk itu ia menghimbau kepada para orang tua agar senantiasa mengawasi anaknya dalam perayaan tahun baru.

"Padahal, cara yang paling bagus untuk menyambut pergantian tahun adalah melakukan introspeksi. Bukan sebaliknya, mengisinya dengan perbuatan negatif," kata pengasuh Ponpes Al Aqobah, Diwek, Jombang ini. (bilal/arrahmah.com)



Sumber. Arrahmah.com

Sejarah Tahun Baru Masehi dan Menurut Pandangan Islam

(Arrahmah.com) - Selang beberapa hari kedepan, sebagian besar orang di berbagai belahan dunia akan kembali menyelenggarakan event tahunan yang biasa digelar secara kolosal. Na'am, acara ini biasa disebut dengan tahun-baruan. Entah sudah kali keberapa kegiatan ini juga mewarnai aktivitas orang Indonesia di setiap akhir penghujung tahunnya. Yang jelas, ia tak pernah absen untuk membawa sekian risalah di setiap kehadirannya.

Tak jelas kapan budaya ini masuk ke Indonesia, tapi yang pasti ia selalu dijaga keeksisannya. Ia nampak seperti sesuatu yang ditunggu-tunggu, yang serasa menjadi ketidak-afdholan bila dibiarkan tanpa dirayakan. Kesibukan pun kemudian akan tampak menghinggapi berbagai kalangan, mulai dari manusia di tingkat kota-kota besar hingga menyeruak ke kampung-kampung pinggiran, dari golongan bermodal besar hingga ke kalangan ecek-ecek—semua tampak mulai berkemas-kemas menyambut tahun-baruan ini. Tak terkecuali para pelaku pasar yang telah jauh-jauh hari mempersiapkan dagangannya guna memanfaatkan momen yang hanya setahun sekali ini. Ada dari mereka yang menciptakan pernak-pernik yang biasa menjadi kebutuhan untuk event ini, seperti terompet beraneka jenis, atau kembang api dan petasan dengan bermacam ukuran. Di bidang lain, sejumlah besar fasilitas umum seperti pusat perbelanjaan dan perhotelan, masing-masing berlomba dalam merebut konsumen dengan menjajakan diskon dan kupon yang menggiurkan serta penawaran keuntungan lainnya. Belum lagi tempat-tempat hiburan yang semangat menjaring calon pengunjungnya di musim liburan ini dengan menjanjikan keceriaan dan kemeriahannya di detik-detik pergantian tahun. Pokoknya semua tampak satu-padu…

Namun masalahnya, beginikah cerminan umat Islam yang (masih) selalu ikut-ikutan dalam budaya yang tidak dikenal dalam dien yang haq ini?

Berikut beberapa hal yang seharusnya kita fahami sebagai seorang muslim dalam kaitannya dengan risalah ini:

1. Budaya tahun-baruan, bukan budaya Islam

Perkara ini sebenarnya sudah jelas bahwa tahun-baruan adalah hasil transfer kebiasaan bangsa lain yang tidak berkiblat kepada Islam. Oleh sebab itu, budaya ini menjadi keharaman untuk dikerjakan dan diterapkan dalam kehidupan seorang muslim. Konon, bangsa Persi kuno lah yang telah melakukan aktivitas ini pada masa kejayaannya. Ia merupakan sebuah ritual yang dikhususkan untuk mengagungkan dewa api. Mereka yang merupakan kaum Majusi, yaitu yang menganggap api sesuatu yang memiliki kekuatan sehingga karena kepercayaan itulah mereka menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari penobatan raja baru mereka yaitu yang dipersangkakan sebagai hari terciptanya api. Dalam perayaan ini, sepanjang malam mereka berpesta, menyalakan bunga-bunga api, mengkonsumsi minuman keras, dan turun ke jalan-jalan. Bukankah gambaran tersebut merupakan kesamaan dengan yang terjadi pada masa-masa sekarang ini? Sepatutnya seorang muslim menghindari aktivitas ini karena ia merupakan salah-satu bentuk dari kemaksiatan yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta'ala. Seorang muslim yang bertauhid akan selalu berusaha menjaga marka-marka syari'at yang akan menghindarinya dari ancaman kefasikan. Ia akan menjaga kemuliaan dien Islam dan inilah salah-satu sifatnya orang yang beriman.

Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "…Allah menjadikan kamu cinta akan keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus." (QS. al-Hujurat, 49:7)

Event tahun-baruan juga termasuk hari raya umat lain, sehingga hari tersebut bukanlah hari yang pantas dirayakan oleh umat Islam. Namun akhir-akhir ini perhelatan akbar ini pun kemudian dialihkan beberapa ustadz yang menyikapi berbondong-bondongnya kaum muslimin yang ikut dalam rutinitas perayaan tahun baru Masehi di setiap tahunnya, dengan menggantikan posisi kemeriahan tahun baru Masehi kepada aktivitas do'a dan dzikir akbar. Lalu tersusunlah program yang ditujukan untuk menyelisihi apa-apa yang ada di dalam perayaan tahun baru Masehi tersebut. Tak nampaklah jua bahwa bentuk 'penyelisihan' seperti itu adalah juga bentuk lain dari tasyabbuh yang dilarang Rasulullah. Ibnu Umar ra menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

Artinya, "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut." (HR. Ahmad)

Dalam Iqtidha Sirathiil-Mustaqim, Mukhalafatu Ashabil-Jahim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berkata, "Perbuatan meniru-niru mereka (umat kafir) dalam perayaan mereka dapat menyebabkan seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal tersebut akan lebih memotivasi mereka (umat kafir) untuk memanfaatkan momen tersebut (dalam menyia'arkan kesesatannya)."

Selain itu, Rasulullah saw pernah bersabda,

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبدلَكُمْ بِهِمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْر.

Artinya, "Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari raya tersebut dengan dua hari raya yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud)

2. Tabdzir dilarang oleh syari'at

Sebagaimana sifat dari sebuah pesta dan kemeriahan adalah adanya pengadaan fasilitas penunjang yang menuntut pula adanya ketersediaan materi. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentu saja bernilai sia-sia dikarenakan event ini tak ada tuntunannya dalam syari'at Islam. Sementara Allah Ta'ala mengharamkan segala bentuk penyia-nyiaan, baik penyia-nyiaan dalam bentuk peribadahan seperti praktek kebid'ahan, maupun penyia-nyiaan dalam bentuk harta dan waktu. Allah Ta'ala telah mengingatkan manusia tentang salah-satu sifat buruk yang dibencinya yaitu sifat boros,

Artinya, "…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangatlah ingkar kepada Tuhannya."" (QS. al-Isra', 17:26-27)

Tasyabbuh perayaan tahun-baruan juga jelas menjadi sifat penyia-nyiaan kesempatan beribadahnya seorang muslim kepada peribadahan yang diperintahkan Allah Ta'ala atau kepada sunnah-sunnah yang Rasul-Nya contohkan. Sementara beliau saw telah bersabda,

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مًحَمَّدٍ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍبِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِيْ النَّارِ.

Artinya, "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Tidaklah ada perkara yang tidak atau belum beliau saw sampaikan kepada umatnya, termasuk perkara ini. Ibnu Mas'ud ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sebuah sabdanya,

لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ وَ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَ لاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.

Artinya, "Tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke surga, kecuali telah aku perintahkan kepada kamu dengannya dan tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke neraka, kecuali pasti telah aku cegah kamu darinya. " (HR. Imam Al-Hakim)

Kegiatan perhelatan tahunan seperti ini sudah memiliki kejelasan tentang keharamannya berdasar sabda Rasulullah serta tidak adanya perilaku beliau saw yang pernah beliau saw tunjukkan semasa hidupnya, tidak pula oleh para sahabatnya dan oleh orang-orang yang mengikutinya kemudian dari kalangan para sholafush sholih. Barangsiapa yang tetap berpegang-teguh berkiblat pada aktifitas di luar Islam ini, maka ia telah mengekor pada kebiasaan dan tradisi adat jahiliyyah. Bukankah sudah diketahui bahwa asal-usul perayaan ini adalah upaya bangsa musyrik Persi kuno pada masa berkuasanya raja Nairuz dalam pengagungannya kepada dewa api, sedangkan Ibnu Umar ra dahulu pernah menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ تَثَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

Artinya, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud)

Semoga kita tidak termasuk golongan yang mendapat ancaman kemurkaan dari Allah Tabaraka wa Ta'ala.

3. Waktu tidak berulang

Semangat yang tergambar jelas dari penyongsongan event tahun-baruan ini begitu sangat terasa. Ditandai dengan hilir-mudiknya orang-orang dalam mempersiapkan datangnya hari pergantian tahun Masehi, khususnya dalam mengisi waktu libur dengan jadwal-jadwal perpelancongan ke berbagai tempat, baik yang ada di daerah mereka maupun tempat-tempat persinggahan di negeri-negeri lain. Semua dilakoni dengan begitu bersemangat demi tercapainya tujuan: meraih kepuasan dan kesenangan dunia.

Ini tentu semangat yang keliru, karena dengan begitu—otomatis waktu dan kesempatannya untuk beribadah dan bermuhasabah kepada-Nya menjadi terbengkalai. Padahal tidaklah Dia memperpanjang nafas seorang muslim selain untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS.adz-Zariyat, 51:56 )

Na'am, aktifitas seorang muslim yang sesungguhnya adalah berkutat dengan peribadahan kepada Rabb-nya, apakah peribadahan itu berbentuk sholat, shaum, shodaqoh, mencari ma'isyah, beramar ma'ruf-nahyi munkar, tholabul ilmu, maupun berdzikir dan bermuhasabah. Semua hal tak lepas dari mengibadahi-Nya semata, saling sambung-menyambung, berkaitan, dan berketerusan. Tidak diridhoi-Nya perkara apapun yang menyebabkan seorang manusia terlalai dari tugasnya beribadah atau berpaling kepada prilaku menghambur-hamburkan waktu yang telah dikaruniakan-Nya. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja-keras (untuk urusan yang lain)." (QS. an-Nashr, 94:7)

Lalu bagaimana dengan aktifitas muhasabah yang dikhususkan pada momen-momen tertentu seperti pada event tahun-baruan yang belakangan mulai sering dilaungkan?

Pada dasarnya muhasabah memang diperintahkan Allah Ta'ala kepada setiap hamba-Nya seperti yang Dia maktubkan dalam kitab-Nya,

Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyr, 59:18)

Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk bermuhasabah di setiap harinya dan di setiap apa yang telah dilakukannya, bukan malah menunggu pelaksanaannya hingga penghujung tahun akan berakhir misalnya, terlebih dengan berjama'ah pula. Imam Ibnu Katsir dalam mentafsir ayat tersebut mengatakan bahwa Allah Ta'ala memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk menghisab diri-diri mereka sendiri sebelum hari penghisaban tiba, dan agar setiap diri melihat apa-apa yang telah mereka tabung untuk diri-diri mereka kelak yaitu berupa amalan sholih yang kelak akan dihadapkan kepada Rabb-Nya. Sementara Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighosatul Lahfan min Masayyidis Syaithon mengatakan bahwa seharusnya muhasabah itu dilakukan di dua keadaan, yaitu pada saat sebelum beramal—dimana kita menghisab terlebih dulu tentang amalan yang akan kita kerjakan itu; apakah bersumber dari keihklasan semata-mata karena mengharap ridho-Nya dan apakah memang disyari'atkan Allah Ta'ala melalui Rasul-Nya? Apabila telah memastikan dua kriteria ini terpenuhi, maka barulah amalan yang dimaksud bisa diamalkan. Dan keadaan muhasabah yang kedua adalah ketika sudah melakukan suatu amalan, yaitu dengan mengintropeksi apakah pada amalan tersebut telah terjadi kekurangan atau mungkin tidak dilakukan dengan kekhusyu'an hati. Beberapa hal inilah yang tidak terpenuhi oleh kaum muslimin yang melakukan muhasabah berjama'ah khusus pada perayaan tahun-baruan, mereka boleh saja mengatakan bahwa amalan tersebut datang dari keikhlasan hati dan dengan niat yang baik, namun itu tidak menghantarkan mereka kepada ridho-Nya karena syari'at tidak menitahkan demikian. Pernahkah Rasulullah bersama para sahabatnya berkumpul untuk melakukan amalan tersebut? Pernahkah para tabi'in dan sholafush-sholih pada zamannya juga melaksanakannya? Bila ini tidak terpenuhi, ketahuilah bahwa hal itu bukanlah muhasabah dan kaum muslimin belum bermuhasabah dengan sebenar-benarnya. Sebab makna muhasabah yang sesungguhnya adalah untuk meringankan hisab kita di hari kiamat kelak, sementara amalan yang dibuat-buat seperti pada muhasabah massal perayaan tahun-baruan hanya menambah berat buruknya hisab.

Tidaklah seorang muslim beramal dalam keluasan hari-hari yang diberikan Allah Ta'ala kepadanya, sementara hari-hari yang telah dimilikinya tidaklah mungkin terulang, sedangkan amalan telah baku tercatat, apatah lagi hari esok belum pasti menghampiri. Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, "Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanyalah hidup beberapa hari saja; setiap kali waktu berlalu, berarti hilanglah pula sebagian dirimu." (Siyar A'lam an-Nurbala', 1/496)

Selayaknya kaum muslimin meneladani Rasulullah dan para sahabatnya. Tolak beragam tipu-daya setan yang mengikis akidah umat di event-event seperti ini dengan bergerak mendakwahkan kebenaran dan mengajak umat untuk mengisi hari-harinya dengan amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah. Janganlah kita mengikuti perkara yang mungkin belum kita ketahui ilmunya, seperti firman-Nya,

Artinya, "Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabannya." (QS. al-Isra', 17:36)

Dia juga berfirman,

Artinya, "…dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu mereka (orang-orang fasik) dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…" (QS. al-Ma'idah, 5:48)

Firman-Nya pula,

Artinya, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (QS. al-Ma'idah, 5:49)

Sementara Imam Ahmad pernah mengatakan bahwa tanpa ilmu, manusia itu hidupnya seperti binatang. Dan janganlah juga kita asyik bermasyuk-diri membiarkan diri tenggelam dalam kesesatan, sementara ilmu telah kita ketahui. Khawatirlah bahwa bila Allah Ta'ala berkehendak, Dia akan biarkan hati kita mengeras karena kita menafikkan kebenaran yang telah kita temukan tentang suatu syari'at-Nya.

Selain itu ada pula sikap sebagian muslimin yang ikut-ikutan merayakan tahun-baruan karena gengsi bila absen dari lingkungannya yang telah terbiasa andil dalam perhelatan ini. Untuk alasan yang seperti ini, waspadalah! Karena sikap tersebut bisa merupakan pertanda bahwa kita telah terjerumus meladeni hawa-nafsu orang-orang fasik dan kafir yang senantiasa berupaya menjauhkan seorang muslim dari syari'at dien-Nya. Waspadalah karena Allah Ta'ala telah membuat peringatan ini bagi hamba-hamba-Nya yang beriman,

Artinya, "Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)." (QS. al-A'raf, 7:202)

Lalu Allah Ta'ala juga mengabarkan keadaan apabila setan-setan itu telah menguasai akan hati-hati seorang muslim, yaitu firman-Nya,

Artinya, "Syaitan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi." (QS. al-Mujadalah, 58:19)

Mudah-mudahan kita dihindari dari perbuatan golongan yang merugi tersebut.

4. Perayaan Natal + perayaan tahun-baruan = perayaan kemusyrikan yang selalu beriringan

Kedua perayaan ini tampak satu-padu dan saling mengisi masing-masingnya. Setiap ucapan selamat Natal tersebut, maka senantiasa ucapan selamat tahun-baru akan mengiringinya. Keduanya memang sama-sama memiliki keharaman untuk turut dirayakan oleh umat muslim. Masing-masing mempunyai dalil yang kuat, seperti hukum yang berkaitan dengan perayaan Natal, berikut beberapa firman-Nya yang berkaitan dengan pengharaman Natal dan turut-sertanya seorang muslim dalam Natal dan berbagai aktifitas yang bertujuan sebagai pengagungan syi'ar-syi'anya:

a. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Sungguh telah kafir orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putera Maryam." Padahal Al-Masih sendiri berkata, "Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmua." Sesungguhnya mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan surge baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang zalim itu." (QS. al-Ma'idah, 5:72)

b. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih." (QS. al-Ma'idah, 5:73)

c. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha pengasih mempunyai anak. Sungguh kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar., hamper saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena menganggap (Allah) Yang Maha pengasih mempunyai anak." (QS. Maryam, 19:88-92)

d. Allah Ta'ala berfirman,

Artinya, "Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dioa tidak meridhoi kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridhoi kesyukuranmua itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh, Dia Maha mengetahui apa yang tersimpan dalam dada(mu)." (QS. az-Zumar, 39:7)

5. Kemaksiatan dalam event tahun-baruan

Beberapa kemaksiatan yang biasa terjadi dalam event tahun-baruan, diantaranya yaitu:

a. Ikhtilath, yaitu ketika berdua-duaannya seorang ikhwan dan akhwat tanpa mahram dan juga tanpa kepentingan yang disyari'atkan agama, misalnya dengan melakukan perjalanan dalam kegiatannya merayakan tahun-baruan.

b. Khalwat, yaitu bercampur-baurnya ikhwan dan akhwat di satu tempat tanpa adanya batas-batas yang menghijabi keduanya dan dalam keadaan yang bukan suatu kedaruratan dalam syari'at, misalnya ketika berkumpul di tanah lapang atau pelataran yang dijadikan tempat perayaan pesta tahun-baruan.

c. Tabdzir, yaitu ketika kemampuan yang dimiliki, baik berupa uang, kendaraan, kesehatan, atau waktu luang disalurkan bukan kepada yang mendatangkan mashlahat, atau dijadikan fasilitas untuk menunjang kegiatan yang diharamkan Islam, seperti tahun-baruan ini.

d. Tasyabbuh syari'at kafir, yaitu dengan mentransfer berbagai gaya hidup syari'at di luar Islam seperti perayaan tahun-baruan untuk dibumikan menjadi adat kebiasaan pula dalam kehidupan seorang muslim.

e. Bid'ah, yaitu ketika mengupayakan sebuah budaya non Islam seperti tahun-baruan ini untuk kemudian di'selisihkan' dengan peribadahan lain yang dianggap lebih afdhol dan lebih bermanfaat.

f. Pengkonsumsian hal-hal yang diharamkan, seperti meminum minuman keras, membakar petasan dan kembang-api, memperdengarkan musik, dan sebagainya.

Semoga kita bisa mengisi hidup yang diamanahkan Allah Ta'ala ini dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan mengganti hari-hari kemarin yang sempat ternoda kemaksiatan dengan rutinitas sunnah Rasul-Nya. Bersegeralah berpaling dari golongan yang terancam dengan kerugian. Mari fahami sekali lagi firman-Nya,

Artinya, "…hendaklah setiap diri memperhatikan (mengintropeksi-diri) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok dan bertakwalah. Sesungguhnya Allah Maha tahu dengan apa yang kamu perbuat." (QS. al-Hasyr, 59:18)

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu 'alam bisshowwab.

Oleh: Ustadz Abu M.Jibriel Abdurrahman


Sumber : Arrahmah.com